Wednesday, October 26, 2016

KLENTENG KWAN IM TONG



Orde baru menyisakan banyak sekali meninggalkan luka, tak terkecuali pada kaum Tionghoa. Pada era orba, Pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas atau ekspresi yang berbau kebudayaan dan tradisi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan banyak pemeluk Tionghoa Konghucu menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai atheis dan komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Buddha, Islam, Katolik, atau Kristen. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha. Banyak sekali diskriminasi – diskriminasi terhadap etnis Tionghoa ataupun Konghucu.
Ketika rezim orba berakhir, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mendapatkan kembali pengakuan atas identitas mereka sejak masa kepemimpinan presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui UU No 1/Pn.Ps/1965 yang menyatakan bahwa agama-agama yang banyak pemeluknya di Indonesia antara lain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Kami adalah penggiat Gusdurian Batu yang merupakan arena sinergi bagi para gusdurian di ruang kultural dan non politik praktis. Di dalam jaringan gusdurian tergabung individu, komunitas/forum lokal, dan organisasi yang merasa terinspirasi oleh teladan nilai, pemikiran, dan perjuangan Gus Dur. Karena bersifat jejaring kerja, tidak diperlukan keanggotaan formal. Jaringan gusdurian memfokuskan sinergi kerja non politik praktis pada dimensi-dimensi yang telah ditekuni Gus Dur yang meliputi 4 dimensi besar: Islam dan Keimanan, Kultural, Negara, dan Kemanusiaan.
GusDurian kota Batu sendiri terdiri dari berbagai elemen masyarakat dengan latar belakang berbeda beda. Ada teman dari yang berasal NU, Muhammadiyah, Gereja, Hindhu, Budha dan aliran kepercayaan lain. Dalam upaya untuk terus meningkatkan silaturahmi dan membangun kerukunan antar umat beragama, kami pegiat Gusdurian kali ini memilih kerja bakti membersihkan (mengecat) tembok Klenteng Kwan Im Tong yang berada di salah satu sudut kota Batu pada tanggal 15 oktober 2015. Berdasarkan pemantauan kami, tembok klenteng ini acap kali menjadi korban jahil tangan tangan tak bertanggung jawab (vandalism). Bahkan pada sudut Klenteng juga terdapat banner banner iklan, yang tidak seharusnya iklan iklan tersebut ditempatkan di dekat tempat ibadah. Cukup disayangkan, sampai saat ini kami tidak mengetahui pengayoman pemerintah terhadap rumah-rumah ibadah ini.
Seperti yang kita ketahui bersama, kota Batu adalah miniatur pluralitas yang ada di Indonesia. Di kota batu terdapat 6 agama (Islam, Katholik, Kristen, Hindu,Budha dan Konghucu) yang diakui pemerintah dan aliran kepercayaan dengan sejarah besar mampu hidup berdampingan dengan damai. Di kota Batu tidak pernah terjadi konflik-konflik dengan latar belakang agama maupun keyakinan.
Melalui kegiatan yang melibatkan teman teman lintas iman  dan lintas etnis yang tergabung dalam Gusdurian kota Batu, kami berharap senantiasa mampu menghidupkan warisan Gus Dur yang tertuang dalam 9 nilai Gusdurian. Harapan kami, kegiatan ini mampu menjadi teladan bagi daerah lain di luar Batu untuk saling mengayomi meskipun kita semua hidup dalam  kemajemukan.
Kami juga mengharap kepada pejabat terkait untuk TIDAK memberikan izin mengenai pemasangan iklan atau reklame dalam bentuk apapun di sekitar tempat ibadah, khususnya pihak satpol PP yang berwenang dalam hal ini sebagai salah satu wujud pengayoman Pemerintah terhadap setiap warga Negara dalam menjalankan fungsi ibadahnya masing masing.

9 NILAI GUSDURIAN




Ketauhidan


Ketauhidan bersumber dari keimanan kepada Allah sebagai yang Maha Ada, satu-satunya Dzat hakiki yang Maha Cinta Kasih, yang disebut dengan berbagai nama. Ketauhidan didapatkan lebih dari sekadar diucapkan dan dihafalkan, tetapi juga disaksikan dan disingkapkan. Ketauhidan menghujamkan kesadaran terdalam bahwa Dia adalah sumber dari segala sumber dan rahmat kehidupan di jagad raya. Pandangan ketauhidan menjadi poros nilai-nilai ideal yang diperjuangkan Gus Dur melampaui kelembagaan dan birokrasi agama. Ketauhidan yang bersifat ilahi itu diwujudkan dalam perilaku dan perjuangan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.


Kemanusiaan
Kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia adalah mahluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Kemuliaan yang ada dalam diri manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan menghormati. Memuliakan manusia berarti memuliakan Penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan Tuhan Sang Pencipta. Dengan pandangan inilah, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat.


Keadilan
Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan dan karenanya harus diperjuangkan. Perlindungan dan pembelaan pada kelompok masyarakat yang diperlakukan tidak adil, merupakan tanggungjawab moral kemanusiaan. Sepanjang hidupnya, Gus Dur rela dan mengambil tanggungjawab itu, ia berpikir dan berjuang untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.


Kesetaraan
Kesetaraan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan. Kesetaraan meniscayakan adanya perlakuan yang adil, hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi dalam masyarakat. Nilai kesetaraan ini, sepanjang kehidupan Gus Dur, tampak jelas ketika melakukan pembelaan dan pemihakan terhadap kaum tertindas dan dilemahkan, termasuk di dalamnya adalah kelompok minoritas dan kaum marjinal.


Pembebasan
Pembebasan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki tanggungjawab untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan, untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu. Semangat pembebasan hanya dimiliki oleh jiwa yang merdeka, bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan nilai pembebasan ini, Gus Dur selalu mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan manusia lain.


Kesederhanaan
Kesederhanaan bersumber dari jalan pikiran substansial, sikap dan perilaku hidup yang wajar dan patut. Kesederhanaan menjadi konsep kehidupan yang dihayati dan dilakoni sehingga menjadi jati diri. Kesederhanaan menjadi budaya perlawanan atas sikap berlebihan, materialistis, dan koruptif. Kesederhanaan Gus Dur dalam segala aspek kehidupannya menjadi pembelajaran dan keteladanan.


Persaudaraan
Persaudaraan bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan. Persaudaraan menjadi dasar untuk memajukan peradaban. Sepanjang hidupnya, Gus Dur memberi teladan dan menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat, bahkan terhadap yang berbeda keyakinan dan pemikiran.


Keksatriaan
Keksatriaan bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan tujuan yang ingin diraih. Proses perjuangan dilakukan dengan mencerminkan integritas pribadi: penuh rasa tanggung jawab atas proses yang harus dijalani dan konsekuensi yang dihadapi, komitmen yang tinggi serta istiqomah. Keksatriaan yang dimiliki Gus Dur mengedepankan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani proses, seberat apapun, serta dalam menyikapi hasil yang dicapainya.


Kearifan Lokal
Kearifan lokal bersumber dari nilai-nilai sosial-budaya yang berpijak pada tradisi dan praktik terbaik kehidupan masyarakat setempat. Kearifan lokal Indonesia di antaranya berwujud dasar negara Pancasila, Konstitusi UUD 1945, prinsip Bhineka Tunggal Ika, dan seluruh tata nilai kebudayaan Nusantara yang beradab. Gus Dur menggerakkan kearifan lokal dan menjadikannya sebagai sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik dalam membumikan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan, tanpa kehilangan sikap terbuka dan progresif terhadap perkembangan peradaban.